Saturday, March 18, 2017

Jamu

Pengertian jamu dalam Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Salah satu jenis jamu yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah jamu gendong. Disebut jamu gendong karena umumnya dijajakan dengan cara digendong. Jamu gendong merupakan jamu yang terbuat dari dedaunan dan akar-akaran yang direbus dengan air, disaring, dan dapat diminum selama beberapa waktu tertentu. Jamu gendong umumnya memproduksi dari bahan-bahan yang masih segar (terutama daun segar, akar-akaran, buah dan batang).

Ada beberapa jenis dan manfaat Jamu Gendong, yakni :

1. Jamu Beras Kencur berkhasiat mampu menghilangkan rasa kelelahan, mencegah batuk, menyaringkan suara, dan meningkatkan nafsu makan.
2. Jamu Kunyit Asam berkhasiat sebagai antibiotik dan pencegah sariawan.
3. Sinom berkhasiat untuk pencegah sariawan, dan peluntur lemak.
4. Jamu Cabe Puyang berkhasiat untuk menghilangkan capek-capek, pencegah masuk angin, dan penambah nafsu makan.
5. Jamu Pahitan berkhasiat untuk penyembuhan penyakit gatal-gatal, sebagai jamu bersih darah, dan anti alergi.
6. Jamu Kunci Suruh berkhasiat untuk mengobati keputihan. Khasiat dari jamu yang satu ini sangat baik untuk perempuan.
7. Jamu Kudu Laos berkhasiat untuk mengurangi tekanan darah tinggi dan menurunkan kolesterol.
8. Jamu Uyup-uyup/Gejahan berkhasiat memperlancar asi pada Ibu yang menyusui.
9. Jamu Temulawak berkhasiat sebagai pencegah penyakit liver dan batu ginjal.
10. Jamu Sari Rapet ini berkhasiat untuk menjaga kesehatan organ kewanitaan.

                                                                                                                (Wulandari, 2014)

Sekilas cara membuat jamu gendong :




Jamu telah menjadi bagian budaya dan kekayaan alam Indonesia dan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 menunjukkan bahwa penggunaan jamu oleh masyarakat Indonesia lebih dari 50%. Meskipun demikian belum semua dokter di Indonesia terutama dokter spesialis menerimanya dengan alasan tidak memiliki bukti ilmiah (evidence based medicine/EBM). 

Pada kenyataannya, di setiap sidang pleno PB IDI selama tiga tahun, banyak anggota pengurus yang selalu mempertanyakan bukti ilmiah jamu karena banyak pasien mereka mengalami perforasi lambung bahkan gagal ginjal. Penjelasan bahwa jamu tersebut bercampur dengan bahan kimia obat (BKO) sebagai penyebab efek samping, tidak menyurutkan pendapat mereka bahwa jamu tidak aman dan tidak berbasis ilmiah. 

Karena pendapat dokter yang melemahkan kemanfaatan jamu, Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menjalankan program Saintifikasi Jamu (SJ) berdasarkan Peraturan Kementerian Kesehatan RI No.003/PerMenKes/I/2010 untuk membuktikan khasiat jamu dengan metode penelitian berbasis pelayanan.

Saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif, promotif, rehabilitatif, paliatif, sedangkan upaya kuratif dilakukan atas permintaan tertulis pasien. 

Tujuan saintifikasi jamu adalah : 
  1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based medicine) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan . 
  2. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitative dan paliative melalui penggunaan jamu.
  3. Meningkatkan kegiatan peneliti kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu.
  4. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat yang nyata yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Persyaratan bahan jamu :
  • Aman berdasarkan uji toksisitas
  • Berkhasiat berdasarkan data empiris yang dibuktikan dengan uji manfaat praklinik
  • Berkualitas sesuai dengan pedoman yang berlaku secara nasional


Pada tahun 2007, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI memprakarsai isian kuesioner riskesdas 2007 tentang pemanfaatan jamu oleh masyarakat Indonesia.  Hasilnya menunjukkan bahwa 35,7% masyarakat menggunakan jamu dan lebih dari 85% di antaranya mengakui bahwa jamu bermanfaat bagi kesehatan. Riskesdas 2010 ternyata menunjukkan peningkatan hasil yaitu 59,12% dari 35,7% dan 95,6% dari 85%. Selain pencapaian hasil yang bermakna dalam riskesdas 2007 dan 2010, disiapkan pula program saintifikasi Jamu untuk membuktikan secara ilmiah bahwa jamu efektif untuk indikasi tertentu dengan metode penelitian berbasis pelayanan. Pada awal tahun 2010, diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/ Menkes/PER/I/2010  tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian berbasis Pelayanan Kesehatan.

Hingga saat ini, telah menghasilkan 200 dokter yang tersebar di hampir seluruh wilayah/provinsi/kabupaten di Indonesia. Masalah baru timbul, ketika mereka tidak mendapatkan SBR dari Dinas Kesehatan Kota, tempat mereka berasal dengan alasan Dinas Kesehatan tidak mengetahui program SJ. Masalah lainnya adalah ketika PB IDI pasca-Muktamar IDI ke-28 di Makassar pada tahun 2012  menghapuskan bidang kajian pengobatan tradisional, alternatif dan komplementer, sehingga secara tidak langsung nota kesepahaman (MoU) antara Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI dengan Ketua Umum PB IDI tidak berlaku lagi. Akibatnya, dokter lulusan program SJ tidak akan mendapatkan izin praktik penelitian berbasis pelayanan jamu di tempat mereka bekerja.

Hasil analisis literatur menunjukkan bahwa pemanfaatan jamu di Indonesia tidak konsisten dan mengalami pasang surut tergantung siapa  pemegang kebijakan sehingga beberapa jamu lebih mudah dipatenkan di negara lain. Dokter sebagai pengabdi masyarakat terdepan belum secara aklamasi, menerima jamu karena ketidaktahuan atau karena pola sentral cara berpikir yang hanya terfokus pada bukti ilmiah konvensional. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan beberapa alternatif yaitu pendidikan jamu secara  terstruktur atau memasukkan mata ajar jamu ke dalam kurikulum pendidikan dokter dan yang paling penting adalah koordinasi dan integrasi yang saling  bersinergi di antara pemegang kebijakan di pemerintahan, antara pemerintah dengan akademisi, pebisnis dan masyarakat serta BPOM.


                                                                                             ( Ernie H. Purwaningsih , 2013)


Sehingga bisa disimpulkan permasalahan jamu di Indonesia :

  1. Jamu tidak diterima di pelayanan kesehatan karena belum memiliki Evidence Based.
  2. Dokter berpendapat jamu dapat menimbulkan perforasi lambung bahkan gagal ginjal.
  3. Program saintifikasi jamu diadakan untuk membuktikan khasiat jamu dengan metode penelitian berbasis pelayanan. Namun masih menemui kendala, yakni dokter lulusan Saintifikasi Jamu tidak mendapat izin praktik penelitian berbasis pelayanan jamu ditempat kerja mereka. 
  4. Pemanfaatan jamu di Indonesia tidak konsisten dan mengalami pasang surut tergantung siapa  pemegang kebijakan sehingga beberapa jamu lebih mudah dipatenkan di negara lain.


DAFTAR PUSTAKA

Wulandari, 2014 , Jurnal Biotropika.

  ( Ernie H. Purwaningsih , 2013) Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia


Monday, March 13, 2017

Herbal Medicine in Indonesia (Obat Tradisional di Indonesia)

Traditional medicine atau pengobatan tradisional adalah pengetahuan, keterampilan, dan praktek berdasarkan teori, keyakinan, dan pengalaman adat budaya yang berbeda, apakah dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosis, perbaikan atau pengobatan penyakit fisik dan mental. Istilah lain dari traditional medicine adalah complementary /alternative /non-conventional medicine, istilah tersebut digunakan di beberapa negara yang tidak terlalu dominan menggunakan pengobatan tradisional di sistem pelayanan kesehatannya atau pengobatan tradisional tersebut bukan tradisi dari negara itu (World Health Organization, 2000). 

Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa akar, batang, daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagian tanaman (Hedi R. Dewoto, 2007)

Variabilitas dari kandungan di obat herbal karena faktor genetik, budaya dan lingkungan telah membuat penggunaan obat-obatan herbal akan selalu menjadi lebih menantang. Misalnya, ketersediaan dan kualitas bahan baku sering bermasalah, zat aktif beragam dan mungkin tidak diketahui, dan kualitas batch yang berbeda dari persiapan mungkin sulit untuk mengontrol dan memastikan. Di kebanyakan negara, produk herbal diluncurkan ke pasar tanpa evaluasi ilmiah yang tepat,serta tanpa pengaman wajib dan studi toksikologi. Tidak ada mesin yang efektif untuk mengatur praktek manufaktur dan standar kualitas. Konsumen dapat membeli produk herbal tanpa resep dan mungkin tidak mengenali potensi bahaya di produk yang kualitasnya lebih rendah. Oleh karena itu komposisi harus didefinisikan dengan baik dan konstan (tidak berubah) dari obat tsb, salah satu prasyarat yang paling penting untuk produksi obat yang berkualitas. Mengingat sifat dari produk yang berasal dari tumbuhan, yang biasanya tidak konstan dan tergantung pada dan dipengaruhi oleh banyak faktor, memastikan kualitas yang konsisten dari produk sangat penting untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan industri (kunle, et. al, 2012)

Dalam dekade belakangan ini di tengah banyaknya jenis obat modern di pasaran dan munculnya berbagai jenis obat modern yang baru, terdapat kecenderungan global untuk kembali ke alam (back to nature). Faktor yang mendorong masyarakat untuk mendayagunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat modern/sintetis dan banyaknya efek samping. Selain itu faktor promosi melalui media masa juga ikut berperan dalam meningkatkan penggunaan obat bahan alam. Oleh karena itu obat bahan alam menjadi semakin populer dan penggunaannya meningkat tidak saja di negara sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada negara maju misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Tahun 2000 pasar dunia untuk obat herbal termasuk bahan baku mencapai 43 000 juta dolar Amerika. Penjualan obat herbal meningkat dua kali lipat antara tahun 1991 dan 1994, dan antara 1994 dan 1998 di Amerika Serikat. Di Indonesia menurut survei nasional tahun 2000, didapatkan 15,6% masyarakat menggunakan obat tradisional untuk pengobatan sendiri dan jumlah tersebut meningkat menjadi 31,7 % pada tahun 2001. Jenis obat tradisional yang digunakan dapat berupa obat tradisional buatan sendiri, jamu gendong maupun obat tradisional industri pabrik.

Berbeda dengan obat moderen yang mengandung satu atau beberapa zat aktif yang jelas identitas dan jumlahnya, obat tradisional/obat herbal mengandung banyak kandungan kimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek terapi atau menimbulkan efek samping. Selain itu kandungan kimia obat herbal ditentukan oleh banyak faktor. Hal itu disebabkan tanaman merupakan organisme hidup sehingga letak geografis/tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pembudidayaan, cara dan waktu panen, cara perlakuan pascapanen (pengeringan, penyimpanan) dapat mempengaruhi kandungan kimia obat herbal (Hedi R. Dewoto, 2007)


Tabel Perbedaan  Obat Tradisional/obat Herbal dengan Obat Moderen

                                                   Obat moderen                        Obat tradisional/ obat herbal

Kandungan senyawa              Satu atau beberapa         Campuran banyak –kimia dimurnikan/sintetik                                                                                                                senyawa alami

Zat aktif                                            Jelas                            Sering tidak diketahui/ atau tidak pasti

Kendali mutu                              Relatif mudah                                      Sangat sulit  

Efektivitas dan keamanan         Ada bukti ilmiah                    Umumnya belum ada bukti          
                                                       uji klinik                                       ilmiah/uji klinik
                                                                                                                  
                                                                                                        (Hedi R. Dewoto, 2007)

Pengelompokkan obat bahan alam di Indonesia berdasar cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, yakni :

  1. Jamu 
Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan harus diwakili dengan kata-kata : 'secara tradisional digunakan untuk ....' atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.
2.


2. Obat Herbal terstandar

Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratkan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra-klinik; telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.


3. Fitofarmaka

Fitofarmaka harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan dengan uji klinik; telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

                                                                                                       (Priyanto & Batubara, L., 2008)


Perbedaan jamu, OHT dan fitofarmaka 

               Jamu                                     Obat Herbal Terstandar                     Fitofarmaka 

 Penggunaannya secara turun       Pembuktian khasiat dan keamanan        Pembuktian khasiat dan
        menurun, empiris*                          berdasarkan uji preklinik           keamanan berdasarkan uji                                                                                                                 preklinik & uji klinik


Bahan baku tidak distandarisasi           Bahan baku distandarisasi           Bahan baku, produk jadi
                                                                                                                            distandarisasi

 Untuk pengobatan sendiri                    Untuk pengobatan sendiri         Untuk pelayanan kesehatan
                                                                                                                                formal

keterangan :
* empiris : sumber pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau percobaan


Penggunaan obat tradisional di Indonesia tidak saja berlangsung di desa yang tidak memiliki/jauh dari fasilitas kesehatan dan obat modern sulit didapat, tetapi juga berlangsung di kota besar meskipun banyak tersedia fasilitas kesehatan dan obat modern mudah diperoleh. Obat tradisional mungkin digunakan sebagai obat alternatif karena mahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintetis dan adanya kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman. Selain untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit ringan, yang mengkhawatirkan ialah obat tradisional juga digunakan masyarakat sebagai obat pilihan untuk mengobati penyakit berat, penyakit yang belum memiliki obat yang memuaskan seperti kanker dan AIDS, serta berbagai penyakit menahun misalnya hipertensi dan diabetes melitus tanpa pengawasan/sepengetahuan dokter.

Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu dilestarikan, diteliti dan dikembangkan. Penelitian obat tradisional Indonesia mencakup penelitian obat herbal tunggal maupun dalam bentuk ramuan. Jenis penelitian yang telah dilakukan selama ini meliputi penelitian budidaya tanaman obat, analisis kandungan kimia, toksisitas, farmakodinamik, formulasi, dan uji klinik. Dari jenis penelitian di atas, uji klinik masih sangat kurang dilakukan dibandingkan jenis penelitian lainnya, sehingga data khasiat dan keamanan obat herbal pada manusia masih sangat jarang. Hal tersebut antara lain karena biaya penelitian untuk uji klinik sangat besar dan uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional/obat herbal tersebut telah dibuktikan aman dan memperlihatkan efek yang jelas pada hewan coba. Penelitian mengenai budidaya tanaman obat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tanaman obat tertentu yang meningkat sehingga kebutuhan tidak terpenuhi dari lahan yang ada atau karena berkurangnya lahan tempat tumbuh tanaman obat. Tanaman Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molenb), merupakan tumbuhan liar di hutan pegunungan Dieng yang secara empiris turun menurun digunakan untuk meningkatkan vitalitas pria. Penelitian pada tikus jantan cenderung meningkatkan testosteron. Dewasa ini tanaman tersebut sudah termasuk langka karena penambangan Purwoceng secara besar-besaran dan intensifikasi pertanian di pegunungan Dieng. Oleh karena itu dilakukan penelitian pengembangan di luar habitat asli di Gunung Putri. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung Putri, namun produksi dan mutunya lebih rendah dari pada di pegunungan Dieng. Diperkirakan dengan pemupukan tanah Gunung Putri akan meningkatkan produksi dan mutu simplisia. Jadi pengembangan obat tradisional tidak lepas dari pembudidayaannya.

Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia 


Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut.

1. Seleksi 
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik 
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar 
4. Uji klinik

Tahap Seleksi 

Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit) 
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu 
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer di kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan

Tahap Uji Preklinik 

Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya. 

Uji Toksisitas 

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia. 
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan. 
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur '
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya kanker. 
4. Obat digunakan secara kronik

Uji Farmakodinamik 

Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia

Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena: 
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik 
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik 
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji 
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor. 
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di pasaran

Agar obat tradisional/obat herbal dapat diterima dan digunakan pada pelayanan kesehatan formal maka pembuktian khasiat dan kemananan obat tradisional pada manusia melalui uji klinik perlu ditingkatkan. Meskipun minat untuk melakukan penelitian dan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka cukup baik, seringkali terbentur pada masalah dana penelitian yang sulit didapat. Koordinasi penelitian antar departemen, perguruan tinggi, lembaga/pusat penelitian perlu ditingkatkan agar tidak terjadi duplikasi dan pemborosan dana penelitian. Pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah perlu menyediakan dana untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian, termasuk penelitian dan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka, sehingga dapat dimanfaatkan pada pelayanan kesehatan.
                                                                                                             (Hedi R. Dewoto, 2007)

DAFTAR PUSTAKA 

Farmakologi Dasar  (Priyanto & Batubara, L., 2008)

Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka  (Hedi R. Dewoto, 2007)

Standardization of herbal medicines - A review, (kunle, et. al, 2012)

World Health Organization, http://www.who.int/topics/traditional_medicine/en/). General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicine