Traditional medicine atau pengobatan tradisional adalah pengetahuan, keterampilan, dan praktek berdasarkan teori, keyakinan, dan pengalaman adat budaya yang berbeda, apakah dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosis, perbaikan atau pengobatan penyakit fisik dan mental. Istilah lain dari traditional medicine adalah complementary /alternative /non-conventional medicine, istilah tersebut digunakan di beberapa negara yang tidak terlalu dominan menggunakan pengobatan tradisional di sistem pelayanan kesehatannya atau pengobatan tradisional tersebut bukan tradisi dari negara itu (World Health Organization, 2000).
Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan
yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau
obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu,
umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal
dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa
akar, batang, daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagian
tanaman (Hedi R. Dewoto, 2007)
Variabilitas dari kandungan di obat herbal karena faktor genetik, budaya dan lingkungan telah membuat penggunaan obat-obatan herbal akan selalu menjadi lebih menantang. Misalnya, ketersediaan dan kualitas bahan baku sering bermasalah, zat aktif beragam dan mungkin tidak diketahui, dan kualitas batch yang berbeda dari persiapan mungkin sulit untuk mengontrol dan memastikan. Di kebanyakan negara, produk herbal diluncurkan ke pasar tanpa evaluasi ilmiah yang tepat,serta tanpa pengaman wajib dan studi toksikologi. Tidak ada mesin yang efektif untuk mengatur praktek manufaktur dan standar kualitas. Konsumen dapat membeli produk herbal tanpa resep dan mungkin tidak mengenali potensi bahaya di produk yang kualitasnya lebih rendah. Oleh karena itu komposisi harus didefinisikan dengan baik dan konstan (tidak berubah) dari obat tsb, salah satu prasyarat yang paling penting untuk produksi obat yang berkualitas. Mengingat sifat dari produk yang berasal dari tumbuhan, yang biasanya tidak konstan dan tergantung pada dan dipengaruhi oleh banyak faktor, memastikan kualitas yang konsisten dari produk sangat penting untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan industri (kunle, et. al, 2012)
Dalam dekade belakangan ini di tengah banyaknya jenis
obat modern di pasaran dan munculnya berbagai jenis obat
modern yang baru, terdapat kecenderungan global untuk
kembali ke alam (back to nature). Faktor yang mendorong
masyarakat untuk mendayagunakan obat bahan alam antara
lain mahalnya harga obat modern/sintetis dan banyaknya
efek samping. Selain itu faktor promosi melalui media masa
juga ikut berperan dalam meningkatkan penggunaan obat
bahan alam. Oleh karena itu obat bahan alam menjadi semakin
populer dan penggunaannya meningkat tidak saja di negara
sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada
negara maju misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Tahun
2000 pasar dunia untuk obat herbal termasuk bahan baku
mencapai 43 000 juta dolar Amerika. Penjualan obat herbal
meningkat dua kali lipat antara tahun 1991 dan 1994, dan
antara 1994 dan 1998 di Amerika Serikat. Di Indonesia menurut survei nasional tahun 2000,
didapatkan 15,6% masyarakat menggunakan obat tradisional
untuk pengobatan sendiri dan jumlah tersebut meningkat
menjadi 31,7 % pada tahun 2001. Jenis obat tradisional yang
digunakan dapat berupa obat tradisional buatan sendiri, jamu
gendong maupun obat tradisional industri pabrik.
Berbeda dengan obat moderen yang mengandung satu
atau beberapa zat aktif yang jelas identitas dan jumlahnya,
obat tradisional/obat herbal mengandung banyak kandungan
kimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan
zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek terapi
atau menimbulkan efek samping. Selain itu kandungan kimia
obat herbal ditentukan oleh banyak faktor. Hal itu disebabkan
tanaman merupakan organisme hidup sehingga letak
geografis/tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pembudidayaan,
cara dan waktu panen, cara perlakuan pascapanen
(pengeringan, penyimpanan) dapat mempengaruhi
kandungan kimia obat herbal (Hedi R. Dewoto, 2007)
Tabel Perbedaan Obat Tradisional/obat Herbal dengan Obat Moderen
Obat moderen Obat tradisional/ obat herbal
Kandungan senyawa Satu atau beberapa Campuran banyak –kimia dimurnikan/sintetik senyawa alami
Zat aktif Jelas Sering tidak diketahui/ atau tidak pasti
Kendali mutu Relatif mudah Sangat sulit
Efektivitas dan keamanan Ada bukti ilmiah Umumnya belum ada bukti
uji klinik ilmiah/uji klinik
(Hedi R. Dewoto, 2007)
Pengelompokkan obat bahan alam di Indonesia berdasar cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, yakni :
- Jamu
Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan harus diwakili dengan kata-kata : 'secara tradisional digunakan untuk ....' atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.
2.
2. Obat Herbal terstandar
Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratkan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra-klinik; telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan dengan uji klinik; telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
(Priyanto & Batubara, L., 2008)
Perbedaan jamu, OHT dan fitofarmaka
Jamu Obat Herbal Terstandar Fitofarmaka
Penggunaannya secara turun Pembuktian khasiat dan keamanan Pembuktian khasiat dan
menurun, empiris* berdasarkan uji preklinik keamanan berdasarkan uji preklinik & uji klinik
Bahan baku tidak distandarisasi Bahan baku distandarisasi Bahan baku, produk jadi
distandarisasi
Untuk pengobatan sendiri Untuk pengobatan sendiri Untuk pelayanan kesehatan
formal
keterangan :
* empiris :
sumber pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau percobaan
Penggunaan obat tradisional di Indonesia tidak saja
berlangsung di desa yang tidak memiliki/jauh dari fasilitas
kesehatan dan obat modern sulit didapat, tetapi juga
berlangsung di kota besar meskipun banyak tersedia fasilitas
kesehatan dan obat modern mudah diperoleh. Obat tradisional
mungkin digunakan sebagai obat alternatif karena
mahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintetis dan
adanya kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman.
Selain untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit
ringan, yang mengkhawatirkan ialah obat tradisional juga
digunakan masyarakat sebagai obat pilihan untuk mengobati
penyakit berat, penyakit yang belum memiliki obat yang
memuaskan seperti kanker dan AIDS, serta berbagai penyakit
menahun misalnya hipertensi dan diabetes melitus tanpa
pengawasan/sepengetahuan dokter.
Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya
bangsa sehingga perlu dilestarikan, diteliti dan dikembangkan.
Penelitian obat tradisional Indonesia mencakup penelitian
obat herbal tunggal maupun dalam bentuk ramuan. Jenis
penelitian yang telah dilakukan selama ini meliputi penelitian
budidaya tanaman obat, analisis kandungan kimia, toksisitas,
farmakodinamik, formulasi, dan uji klinik. Dari jenis penelitian
di atas, uji klinik masih sangat kurang dilakukan dibandingkan
jenis penelitian lainnya, sehingga data khasiat dan keamanan
obat herbal pada manusia masih sangat jarang. Hal tersebut
antara lain karena biaya penelitian untuk uji klinik sangat
besar dan uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat
tradisional/obat herbal tersebut telah dibuktikan aman dan
memperlihatkan efek yang jelas pada hewan coba. Penelitian
mengenai budidaya tanaman obat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tanaman obat tertentu yang meningkat sehingga
kebutuhan tidak terpenuhi dari lahan yang ada atau karena
berkurangnya lahan tempat tumbuh tanaman obat. Tanaman
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molenb), merupakan
tumbuhan liar di hutan pegunungan Dieng yang secara
empiris turun menurun digunakan untuk meningkatkan
vitalitas pria. Penelitian pada tikus jantan cenderung
meningkatkan testosteron. Dewasa ini tanaman tersebut
sudah termasuk langka karena penambangan Purwoceng
secara besar-besaran dan intensifikasi pertanian di pegunungan
Dieng. Oleh karena itu dilakukan penelitian
pengembangan di luar habitat asli di Gunung Putri. Dari
hasil penelitian tersebut didapatkan Purwoceng dapat
dibudidayakan di Gunung Putri, namun produksi dan
mutunya lebih rendah dari pada di pegunungan Dieng. Diperkirakan dengan pemupukan tanah Gunung Putri akan
meningkatkan produksi dan mutu simplisia. Jadi pengembangan
obat tradisional tidak lepas dari pembudidayaannya.
Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan
kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus
didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan
penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat
diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik.
Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka
adalah sebagai berikut.
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan
sediaan terstandar
4. Uji klinik
Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan
jenis obat tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan
dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang
diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki
urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola
penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit
tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu,
seperti AIDS dan kanker.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti
tanaman obat yang mendadak populer di kalangan
masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan
Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis
obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi
fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in
vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek
farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada
hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada
manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat
tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM
Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan
untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan
WHO menganjurkan pada dua spesies.Uji farmakodinamik
pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada
manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat
keamanannya.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik,
kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji
teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji
toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal
dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai
berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan
cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis
obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian
dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji
toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga
bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan
selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan
kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat
tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian
sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama
pemberian obat pada manusia.
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan
mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji
klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial
menimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan.
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan
usia subur '
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait
dengan penyakit tertentu misalnya kanker.
4. Obat digunakan secara kronik
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan
untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri
mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional
tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo
pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji
dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya
pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan
efek pada manusia
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang
dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung
meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini. Kurangnya uji
klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain
karena:
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji
klinik
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah
terbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan
dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan
kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama
bagi produk yang telah laku di pasaran
Agar obat tradisional/obat herbal dapat diterima dan
digunakan pada pelayanan kesehatan formal maka
pembuktian khasiat dan kemananan obat tradisional pada
manusia melalui uji klinik perlu ditingkatkan. Meskipun minat
untuk melakukan penelitian dan pengembangan obat
tradisional menjadi fitofarmaka cukup baik, seringkali
terbentur pada masalah dana penelitian yang sulit didapat.
Koordinasi penelitian antar departemen, perguruan tinggi,
lembaga/pusat penelitian perlu ditingkatkan agar tidak terjadi
duplikasi dan pemborosan dana penelitian. Pemerintah,
perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah perlu
menyediakan dana untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas penelitian, termasuk penelitian dan pengembangan
obat tradisional menjadi fitofarmaka, sehingga dapat
dimanfaatkan pada pelayanan kesehatan.
(Hedi R. Dewoto, 2007)
DAFTAR PUSTAKA
Farmakologi Dasar (Priyanto & Batubara, L., 2008)
Pengembangan Obat Tradisional Indonesia
Menjadi Fitofarmaka (Hedi R. Dewoto, 2007)
Standardization of herbal medicines - A review, (kunle, et. al, 2012)
World Health Organization, http://www.who.int/topics/traditional_medicine/en/). General Guidelines for Methodologies on
Research and Evaluation of
Traditional Medicine